Jumat, 27 September 2013

Umi Bukan Mama!


*Brak bruk brak bruk!*

“Jam berapa ini? Ah gembel, udah jam 7 kurang 15. Mbak, aku bareng kamu deh berangkatnya ya” ucap Ulia

“Dih, males, lagian kamu udah punya sepeda! Pake gih, ngapain sih pake acara minta bareng segala?” tolak Anne

“Lah, mbak lah, besok janji wes nggak minta bareng lagi. Ini masalahnya kalo telat dipoin 5” pinta Ulia

“Yaudahlah cepetan naik, nggak pake lama” jawab Anne

Seketika, wuuuuuuuuuuuuusssh..................


Anne, sebuah nama yang dianugerahkan umi dan abi untuknya. Anneke Zenith Az-Zahra, anak pertama dari 3 bersaudara ini bersekolah di SMA favorit di kotanya. Menurutnya, ia memiliki postur tubuh yang ideal. Ideal untuk ukuran anak SMA jaman sekarang mungkin, pikirnya. Susah untuk mendeskripsikan secara detail mengenai dirinya karena menurut teman-temannya, ia sosok yang sangat susah ditebak. Saat mood sedang baik, ia bisa tersenyum sepanjang hari meskipun dalam kepalanya berisi !@#W$#^T*^%$%, tapi, tapi, tapi, saat prosentase mood sudah berkurang, ia bahkan bisa tak mempedulikan lingkungan sekitarnya, sekalipun uminya. Anne, sosok yang selalu ingin tahu peristiwa-peristiwa ya yang bisa dibilang sebenernya kita nggak perlu tahu itu. Anne, kakak yang tak sepenuhnya mencintai adik-adiknya. Bukan karena iri karena kehadiran mereka menyingkirkan kasih sayang abi uminya, tapi ia pun tak mengerti mengenai “ketidaksukaannya” pada adik-adiknya. Terlebih pada adik perempuannya, Ulia. Hampir tiap hari mereka bisa bertengkar hingga tak ada percakapan antara mereka. Anne merasa lebih baik jika ia bisa mendiam dirikan dirinya dengan Ulia, hingga pada suatu hari...........

“Mbak, tolong jemurannya diangkati ya bareng sama Ulia, Umi mau pergi dulu”, ucap Umi

Jam menunjukkan pukul 16.03 WIB, 15 Januari 2009. Sore ini langit menunjukkan ketidakceriannya, mendung, gelap. Diayunkannya langkah perlahan Anne sendirian menuju halaman belakang rumahnya. Ya, ia malas menyuruh Ulia untuk "bekerja sama" dengannya. Satu per satu jemuran ia angkati hingga tak ada yang tersisa. Selepasnya, ia kembali ke halaman belakang rumahnya, menatap langit yang sedang tidak ceria dan seakan-akan menanyakan keadaan perasaan langit sore itu. Merasa ada jawaban, ia lambat laun menundukkan kepalanya seraya mengusap air yang jatuh membasahi wajahnya. Ia pun berlari ke dalam rumah, mencari-cari kamera prosumernya. Setelah ia menemukannya, berjalanlah ia ke teras rumahnya dan duduk di kursi kayu panjang favoritnya sambil memutar-mutar lensa kameranya. Mulai ia membidik satu panorama, dua, tiga, dan seterusnya. Ah, itu membuat ia merasa lebih baik dalam “kesendiriannya” sekarang. Ya, ia memang merasa tak ada yang lebih nyaman daripada berkunjung ke rumah sahabatnya. Di rumah? Tak ada suasana yang bisa membuatnya benar-benar nyaman. Tapi, ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. 

Hujan, ia tersenyum  simpul melihatnya sembari membolak-balikkan hasil captureannya pada kamera prosumer itu. Hujan, mengingatkannya pada masa kecil yang menurutnya sangat-sangat...ah ia tak ingin mengatakannya. Ya, ia tak tega mengatakannya. Hujan, mengingatkannya pada mama. Hujan, mengingatkannya pada papa. Hujan, mengumpulkan dan memunculkan segala memori yang sudah lama ia pendam di dasar paling dasar dari memori otaknya. Hujan, diam-diam menghanyutkan. Hujan, pelan-pelan menyakitkan. Ya, ia tak begitu menyukai hujan tampaknya. Hujan menyakitinya. Dadanya sesak, hingga ia masuk ke dalam rumah dan hanya bersandar pada kaca besar di ruang tamunya. Berbicara hujan, ia melambungkan pikirannya pada dua sosok yang sangat ia cintai di masa kecil. Mama, meskipun bukan yang melahirkannya, tapi ia selalu ada untuknya, dulu. Papa, meskipun bukan yang menafkahinya, tapi ia yang selalu memberikan apa yang ia inginkan, dulu. Ia tulis nama mereka pada kaca yang berembun itu, tapi, cinta itu dulu, semenjak semuanya belum berubah. Ya, sebelum berubah, tak perlu diceritakan bagaimana kejadiannya. Ia hapus cepat-cepat nama mereka dan bergegas pergi. (to be continued)


 



0 komentar:

Posting Komentar