*Brak bruk brak bruk!*
“Jam berapa ini? Ah gembel, udah jam 7 kurang 15.
Mbak, aku bareng kamu deh berangkatnya ya” ucap Ulia
“Dih, males, lagian kamu udah punya sepeda! Pake gih,
ngapain sih pake acara minta bareng segala?” tolak Anne
“Lah, mbak lah, besok janji wes nggak minta bareng
lagi. Ini masalahnya kalo telat dipoin 5” pinta Ulia
“Yaudahlah cepetan naik, nggak pake lama” jawab Anne
Seketika, wuuuuuuuuuuuuusssh..................
Anne, sebuah nama yang dianugerahkan
umi dan abi untuknya. Anneke Zenith Az-Zahra, anak pertama dari 3 bersaudara ini
bersekolah di SMA favorit di kotanya. Menurutnya, ia memiliki postur tubuh yang
ideal. Ideal untuk ukuran anak SMA jaman sekarang mungkin, pikirnya. Susah
untuk mendeskripsikan secara detail mengenai dirinya karena menurut
teman-temannya, ia sosok yang sangat susah ditebak. Saat mood sedang baik, ia
bisa tersenyum sepanjang hari meskipun dalam kepalanya berisi !@#W$#^T*^%$%,
tapi, tapi, tapi, saat prosentase mood sudah berkurang, ia bahkan bisa tak
mempedulikan lingkungan sekitarnya, sekalipun uminya. Anne, sosok yang selalu
ingin tahu peristiwa-peristiwa ya yang bisa dibilang sebenernya kita nggak
perlu tahu itu. Anne, kakak yang tak sepenuhnya mencintai adik-adiknya. Bukan
karena iri karena kehadiran mereka menyingkirkan kasih sayang abi uminya,
tapi ia pun tak mengerti mengenai “ketidaksukaannya” pada adik-adiknya.
Terlebih pada adik perempuannya, Ulia. Hampir tiap hari mereka bisa bertengkar
hingga tak ada percakapan antara mereka. Anne merasa lebih baik jika ia bisa
mendiam dirikan dirinya dengan Ulia, hingga pada suatu hari...........
“Mbak, tolong jemurannya diangkati ya bareng sama
Ulia, Umi mau pergi dulu”, ucap Umi
Jam menunjukkan pukul 16.03 WIB, 15
Januari 2009. Sore ini langit menunjukkan ketidakceriannya, mendung, gelap.
Diayunkannya langkah perlahan Anne sendirian menuju halaman belakang rumahnya.
Ya, ia malas menyuruh Ulia untuk "bekerja sama" dengannya. Satu per
satu jemuran ia angkati hingga tak ada yang tersisa. Selepasnya, ia kembali ke
halaman belakang rumahnya, menatap langit yang sedang tidak ceria dan
seakan-akan menanyakan keadaan perasaan langit sore itu. Merasa ada jawaban, ia
lambat laun menundukkan kepalanya seraya mengusap air yang jatuh membasahi
wajahnya. Ia pun berlari ke dalam rumah, mencari-cari kamera prosumernya.
Setelah ia menemukannya, berjalanlah ia ke teras rumahnya dan duduk di kursi
kayu panjang favoritnya sambil memutar-mutar lensa kameranya. Mulai ia membidik
satu panorama, dua, tiga, dan seterusnya. Ah, itu membuat ia merasa lebih baik
dalam “kesendiriannya” sekarang. Ya, ia memang merasa tak ada yang lebih nyaman
daripada berkunjung ke rumah sahabatnya. Di rumah? Tak ada suasana yang bisa
membuatnya benar-benar nyaman. Tapi, ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti
ini.
Hujan, ia tersenyum simpul melihatnya sembari membolak-balikkan
hasil captureannya pada kamera prosumer itu. Hujan, mengingatkannya pada masa
kecil yang menurutnya sangat-sangat...ah ia tak ingin mengatakannya. Ya, ia tak
tega mengatakannya. Hujan, mengingatkannya pada mama. Hujan, mengingatkannya
pada papa. Hujan, mengumpulkan dan memunculkan segala memori yang sudah lama ia
pendam di dasar paling dasar dari memori otaknya. Hujan, diam-diam
menghanyutkan. Hujan, pelan-pelan menyakitkan. Ya, ia tak begitu menyukai hujan
tampaknya. Hujan menyakitinya. Dadanya sesak, hingga ia masuk ke dalam rumah
dan hanya bersandar pada kaca besar di ruang tamunya. Berbicara hujan, ia
melambungkan pikirannya pada dua sosok yang sangat ia cintai di masa kecil.
Mama, meskipun bukan yang melahirkannya, tapi ia selalu ada untuknya, dulu.
Papa, meskipun bukan yang menafkahinya, tapi ia yang selalu memberikan apa yang
ia inginkan, dulu. Ia tulis nama mereka pada kaca yang berembun itu, tapi,
cinta itu dulu, semenjak semuanya belum berubah. Ya, sebelum berubah, tak perlu
diceritakan bagaimana kejadiannya. Ia hapus cepat-cepat nama mereka dan
bergegas pergi. (to be continued)
0 komentar:
Posting Komentar